Kamis, 25 Oktober 2007

Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri

Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri
Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan
kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan
Belanda. Tapi belakangan sebuah buku lama yang
kontroversial dan me sisi gelap Padri,
Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku baru
dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi.

Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri
sesungguhnya adalah gerakan Wahabi—gerakan pemurnian
Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam
kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang
membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol
dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul
gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Betulkah
demikian? Ikuti pembahasan Tempo.

… Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk
membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai
Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah
pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki
aliran yang sama dengan Taliban dan Al Qaeda…. Invasi
Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….

Petisi online itu tersebar di banyak mailing list
seminggu lalu. Seorang anak muda, Mudy
Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau
Samosir—telah mengirimnya. Dalam petisi itu, ia
membeberkan dosa-dosa gerakan Padri, antara lain
pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau
Pagaruyung dan penyerbuan Padri ke Batak yang
menewaskan Sisingamangaraja X.

Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan
organisasi, dan semata-semata untuk pelurusan sejarah.
"Kita tunggu sampai 500 pendukung. Hasilnya dikirim ke
pemerintah," katanya saat dihubungi Tempo. Sampai
sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi".

Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku
bertema sama yang baru-baru ini terbit. Yang satu
adalah buku lama karya Mangaradja Onggang Parlindungan
berjudul Tuanku Rao. Buku itu pertama kali dicetak
penerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkan
kembali oleh penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa
suntingan apa pun, bahkan tetap dalam ejaan lama.

Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itu
tidak bercerita langsung tentang Imam Bonjol, tapi
berisi kronologi penyerangan komandan-komandan Padri.
Parlindungan sendiri menyusun buku itu berdasarkan
data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua
Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di
Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki
warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga
generasi sepanjang 1851-1955.

Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik
Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck
Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang
informasinya diminta oleh pemerintah Belanda.
Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman
pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden,
Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para
perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam
Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi
dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan
bahan-bahan laporan itu saat Parlindungan menulis
bukunya.

Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya
menulis pun serampangan. Data yang diramunya itu
sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan
kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia
lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang
panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang
cara penulisannya seperti seorang ayah yang
menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang
dipakai untuk dirinya adalah "Daddy". Sedangkan anak
laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy". Ketika
polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran.
Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku
di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat
dihargai Rp 1,5 juta.

Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy
Harahap, terbit September lalu. Basyral adalah Ketua
Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967
dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin
mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang
dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya,
ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang
dilakukan Padri. "Buku Parlindungan banyak salahnya,
tapi buku itu ada di jalan yang benar."

l l l

Siapakah Parlindungan? Tak banyak yang tahu sosok
pengarang ini. Basyral sendiri pada 1974 pernah
bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ia
langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan
dan Buya Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka. "Saat
itu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepala
gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak,"
kenang Basyral.

Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, Dorpi
Parlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau bercerita
kepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny Boy
dalam bukunya.

"Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karier
ayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal
Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda di
Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, dan
ayah saya."

Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh
pangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan
Jerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr Willer
Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman.
Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan
peralatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.

Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena
dianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnya
berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahanan
rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan
Residen Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.

Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku
ayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padri
bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurut
Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. "Jadi
ia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Tak
banyak penulis yang berani seperti itu," kata Ahmad
Fikri dari LKiS. Buku itu awalnya, menurut Dorpi,
tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya
saja. "Sehabis membaca Al-Quran setiap hari, Ayah
membacakan cerita ini untuk saya dan adik," kenang
Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas
desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.

Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan
Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, Haji
Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke
Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun.
Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka
mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera,
menekankan pemurnian Islam.

Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati
seorang mubalig besar bernama Tuanku Nan Rentjeh, yang
tengah gundah lantaran di Minang berkembang Islam
Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan
suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padri
yang sangat profesional. Pakaian mereka serba putih.
Persenjataannya cukup kuat. Mereka, misalnya, menurut
Parlindungan, memiliki meriam 88 milimeter bekas milik
tentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang.
Dua belas perwira Padri dikirim belajar di Turki.
Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama
Pongkinangolngolan Sinambela, dikirim untuk belajar
taktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernama
Hamonangan Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan
Padri juga memiliki pendidikan kemiliteran di
Batusangkar.

Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana
Pagaruyung, karena istana itu dianggap sebagai boneka
Belanda yang merintangi Darul Islam. Pada 1804, ribuan
rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung dibantai.
Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin
meluaskan agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanah
Batak.

Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar,
bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, oleh
Tuanku Nan Rentjeh diperintah mencari lokasi yang
bakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padri
menyerang Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarang
perampok di rute Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia
mengislamkan kawasan Bonjol, membangun benteng di
sana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak
itu, ia dijuluki Imam Bonjol.

Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana
persiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan
(1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape dan
serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampai
notula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.
Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol,
mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinan
Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku
Asahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.

Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan
kavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari
samping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengan
kekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; Tuanku
Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000
anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya
merangsek dari sisi tengah bawah. Pada 1820,
Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara,
akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk di
atas tombak, dipancang di tanah.

Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku
Lelo. Parlindungan sendiri menganggap "eyangnya" itu
"kriminal perang". Tuanku Lelo bernama asli Idris
Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambut
panjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan
serban yang seluruhnya putih serta suka memakai
selempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburan
emas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenal
sebagai algojo pembantai, juga maniak seks.

Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu
seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang.
Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusan
wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam
berturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pesta
seks besar-besaran.

Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo
memerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red Light
District di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, mereka
digiring berjalan kaki melalui Siborong-borong,
Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju
Natal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300
wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal.

Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri.
Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletus
di Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun sendiri.
Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air
Bengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukan
desersi. Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalu
memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan
Sipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah,
membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalu
menjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama
1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem di
bentengnya di Padang Sidempuan.

Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran Tuanku
Tambusai. Namun, menurut Basyral, Tuanku Tambusai tak
kalah kejam dibanding Tuanku Lelo. "Kebrutalan Tuanku
Tambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok, dan
Barumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkena
adalah daerah nenek moyang saya, Simanabun," tutur
Basyral (lihat "Tambusai dan Pasukan Putih-putih").

l l l

Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini.
"Sebetulnya masuknya Padri ke Batak bukan ekspansi.
Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu dapat dipukul
mundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu, mereka
bertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr Mestika
Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang.

"Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungan
sumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiri
diragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr Asvi
Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hamka bahkan pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah
karangan Parlindungan belaka (lihat "Mengenang
Sanggahan Hamka"). Memang, sekarang mustahil untuk
mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan,
karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungan
sendiri.

Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yang
diwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persen
dari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri,
pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuran
air mata di tepi Sungai Bah Bolon.

"Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya. "Our
family secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yang
terbatas dalam buku ini. No more." "Saya menduga, itu
adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memiliki
data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lain
menelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yang
menerbitkan Greget Tuanku Rao.

Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,
menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan
Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada
20-50 persen data yang benar. Menurut dia,
historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada
1950-an. "Saat itu terjadi dekolonialisasi
historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi
persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data
yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja
tidak disiarkan."

Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata
bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad
ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di
Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.

Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar
bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai
saudagar Padri—bisa dianggap konglomerat. Seorang
Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama
dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran
islami padanya. "Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto
Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya
rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri,"
ujar Gusti.

Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah
Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun
meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan
Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah
utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi.
Apalagi, dengan menguasai area tersebut, Padri masih
dapat melakukan hubungan dengan kaum lain, seperti
Aceh, melalui jalur sungai.

Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri,
sebagian orang memandang dari sudut berbeda. "Soalnya
saat itu kan tidak ada HAM," kata sejarawan Taufik
Abdullah.

Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala
perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan
perwira-perwiranya. "Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia
kan komandan," kata Basyral.

Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia,
kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab
Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal
di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru
menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu
pemimpin gerakan Padri saat itu.

"Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens.
Justru di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukan
Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak
Belanda," kata Taufik.

Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjol
dalam Padri disamakan dengan Diponegoro. "Diponegoro
merupakan pemimpin tunggal, sementara gerakan Padri
merupakan gerakan sosial kolektif, dengan banyak
pemimpin," katanya.

Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempat
mengirim empat anak buahnya ke Mekkah untuk naik haji,
termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya untuk melihat
kondisi Islam di Mekkah. Ternyata Islam saat itu jauh
lebih moderat. Sehingga, ketika kembali ke Minang,
Tuanku Tambusai pun menjadi lebih moderat. Sekembali
dari Mekkah, seperti disebut dalam Tuanku Rao, ia pun
menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana
wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo.

Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemuka
di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol
wafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864. Tak
banyak orang yang tahu, ia meninggalkan sebuah
"catatan harian" (lihat "Dari Catatan Harian Bonjol").

Seno Joko Suyono, Sita Planasari

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007
Iqra
Tambusai dan Pasukan Putih-putih
Seorang pustakawan mendapatkan data-data Belanda yang
melaporkan kekejaman Tuanku Tambusai di daerah Padang
Lawas.

Ro Bonjol… Ro Bonjol (Bonjol datang… Bonjol datang).

Basyral Hamidy Harahap, 67 tahun, peneliti sejarah
Mandailing, masih ingat cerita-cerita lisan
turun-temurun di kampungnya di Simanabun, Padang
Lawas. Kisah tentang bagaimana takutnya penduduk
ketika pasukan Padri pimpinan Tuanku Tambusai datang
menyerbu. Masyarakat Simanabun memukul kentungan
sembari berteriak, "Bonjol datang, Bonjol datang."
Lalu mereka naik perbukitan Dolok menyelamatkan diri.

Basyral Hamidy Harahap adalah turunan dari Raja Datu
Bange yang bermarga Babiat di Simanabun, Distrik
Dolok. Datu Bange adalah raja yang paling gigih
melawan Padri di kawasan Padang Lawas. Basyral
mewarisi banyak kisah lisan dari marga Babiat mengenai
perjuangan Datu Bange.

Pada 1836, kawasan Padang Lawas dianggap sebagai
daerah paling biddah oleh serdadu Padri. "Mereka
datang pakai kuda, mengenakan kostum dan serban
putih-putih," katanya. Dari data dokumen lokal, ia
mengetahui bagaimana Datu Bange habis-habisan
mempertahankan Padang Lawas.

Sewaktu pertama kali menyerang, Tambusai dapat dipukul
mundur. Raja Portibi, Kadhi Sulaiman, pengikut setia
Tuanku Tambusai, tewas dalam perang ini. Tambusai
balik ke Mandailing. Dan dalam perjalanannya,
pasukannya membabi-buta menangkapi anak gadis dan
perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. "Para
perempuan itu ditukar dengan mesiu," kata Basyral.

Untuk mengamankan diri, Datu Bange bersama keluarga
dan pasukan intinya mengungsi. Mereka memanjat tebing
menuju ke puncak perbukitan Dolok. Bukit itu sendiri
begitu licin, hampir tegak lurus, dan sesungguhnya
sukar didaki. Datu Bange mengetahui jalan aman untuk
ke puncak bukit. Selama setahun Datu Bange berada di
atas bukit.

Setahun kemudian, Tambusai menyerang Datu Bange lagi.
Datu Bange tetap bertahan di atas bukit. Celakanya,
adik kandung Datu Bange, Ja Sobob, berkhianat
menunjukkan jalan menuju ke puncak Dolok,
memberitahukan persembunyian abangnya. Segera Tuanku
Tambusai merangsek, menyerbu ke atas bukit. Datu Bange
lolos—ia terluka—dan bersama pasukannya lari melewati
pegunungan Bukit Barisan.

"Datu Bange meninggal dengan infeksi pada
luka-lukanya," kata Basyral. Sesungguhnya, menurut
Basyral, Datu Bange mau menyerah, tapi dengan syarat
Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datu Bange
selamat. Kenyataannya, pasukan Tambusai kemudian
memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas.

Sebagai Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas
Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
(KITLV), Basyral tidak menerima mentah-mentah cerita
khazanah lokal kampungnya itu. Ketika beberapa kali
mendapat kesempatan ke Belanda, ia mencari-cari
dokumen yang berkenaan dengan serbuan Padri ke Padang
Lawas. Dan ia menemukan data dari pihak Belanda yang
membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang
dilakukan Tuanku Tambusai.

Data itu ia dapat dari catatan-catatan J.B. Neumann,
Jughuhn, Ypes, Schnitger, dan terutama T.J. Willer.
Willerlah yang banyak mencatat brutalisme gerakan
Padri di daerah Padang Lawas. Dua bukunya menjadi
referensi utama Basyral. Siapakah T.J. Willer? Dalam
Almanak van Nederlandsch Indie, Willer disebut
menjabat Ketua Komite untuk Wilayah Padang Lawas,
Tambusai, Pane, dan daerah Bila pada 1838-1843.
Jabatan berikutnya adalah Asisten Residen Mandailing
Angkola yang berkedudukan di Panyabungan pada 1843.

Laporan T.J. Willer, misalnya, sampai memetakan luas
wilayah yang menjadi kekuasaan Datu Bange. Seluruh
kawasan Simanabun dalam catatan Willer saat itu dihuni
606 rumah tangga. Dalam buku Willer itu juga
ditampilkan silsilah Marga Babiat—mulai leluhur sampai
Datu Bange—sampai generasi XII. Dari situlah Basyral
tahu bahwa dirinya termasuk generasi cicit Datu Bange.

Willer, sebagaimana dikutip Basyral, menuliskan
demikian: "…. Padri yang dipimpin oleh Tambusai
membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan
ajaran Islam (Wahabi) di mana-mana. Jika penduduk
tidak serta-merta mau masuk Islam akan segera
dibunuh…."

Sebagaimana Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai di
zaman Orde Baru diangkat sebagai pahlawan negara.
"Mengapa ia dianggap pahlawan?" tanya Basyral. Menurut
Basyral, dia sama sekali tidak punya dendam dengan
tragedi yang menimpa pendahulunya itu. Tapi sebuah
revisi sejarah harus digelar.

Berdasarkan catatan panitia yang mengusulkan gelar
pahlawan nasional untuk Tuanku Tambusai, Datu Bange
dianggap sebagai perampok yang sering membuat
kekacauan. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri perlawanan
kelompok parbegu yang dipimpin Datu Bange, sehingga
serangan pun dilakukan sampai dua kali.

"Itu sama sekali tak benar. Datu Bange merupakan raja
paling karismatik di Padang Lawas. Sebelum kaum Padri
masuk pun, warganya telah memeluk Islam," ungkap
Basyral kesal. Masyarakat daerah Padang Lawas sebelum
kedatangan Tuanku Tambusai, menurut dia, sudah sekian
lama memeluk mazhab Syafii yang egaliter.

Di wilayah Padang Lawas memang banyak peninggalan
candi Hindu—Bhairawa. Sebagaimana halnya penganut
Islam di pedalaman, warga Simanabun masih
mempertahankan tradisi kultural. Tradisi ziarah kubur,
misalnya, waktu itu masih sehari-hari dilakoni
penduduk. Mereka memasang lampu, lalu membuat
cungkup-cungkup di kuburan. "Mereka masih berdoa
kepada Tuhan di kuburan."

Tapi gejala itu, menurut Basyral, ada di bagian mama
pun di Sumatera. Bahkan, dalam catatan Basyral, di
wilayah pesisir seperti pantai Natal, tradisi mistik
pun masih kuat. Dokumen perjanjian Bagindo Martia
Lelo, Raja Natal, dengan Moschel, penguasa VOC,
bertarikh 7 Maret 1760, misalnya, menyebutkan bahwa ia
bersumpah atas Al-Quran dan asap pedupaan.

Islam demikianlah, menurut gerakan Tuanku Tambusai,
yang menyeleweng dan perlu dimurnikan akidahnya.
"Upacara pemakaman yang menggunakan berbagai usungan
jenazah di Padang Lawas adalah salah satu hal yang
dibenci Tambusai," kata Basyral. Pasukan Putih-putih
Padri lalu melakukan pembersihan total.
"Cungkup-cungkup makam dipapras sedemikian. Juga
manusianya disembelih," kata Basyral—berdasarkan data
milik pemerintah Belanda yang dibacanya.

Seno Joko Suyono, Sita Planasari Aquadini

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007
Iqra
Dari Catatan Harian Bonjol
Imam Bonjol meninggalkan sejumlah catatan hidupnya
saat diasingkan. Ada catatan tentang jalannya
pertempuran dan negosiasi dengan Belanda. Tak ada
tentang kebrutalan.

"Ini ada surat kumpeni menyuruh saya datang kepada
kumpeni sekarang. Bagaimana kiranya segala datuk-datuk
atau baik saya pai (pergi—Red.) atau tidak?"

Imam Bonjol wafat di Manado. Selama di Manado, ia
ternyata menulis semacam otobiografi dalam huruf Arab
Melayu. Oleh anaknya, Naali Sutan Chaniago dan Haji
Muhammad Amin, yang ikut dibuang ke Manado, naskah itu
diselamatkan.

Dalam catatan itu, kita temukan kesaksian Imam Bonjol
menyerang daerah-daerah yang belum menjalankan
syariah, juga kisah bagaimana ia mengirim Tuanku
Tambusai ke Mekkah, yang kemudian membuat Tambusai
bergelar Haji Muhammad Saleh.

Atau bagaimana di sebuah salat Jumat, ia menyerukan
hukum adat basandi syarak. Ia melukiskan dengan agak
rinci betapa ganasnya perang mempertahankan benteng
Bonjol. Tapi bagian paling panjang adalah pengakuannya
bernegosiasi dengan Belanda.

Diceritakan, utusan Belanda, Kroner (Kolonel) Elout,
memintanya menyerah. Ia menolak, lalu terjadi
pertempuran sengit. Dikisahkannya ia memasang meriam
sendiri untuk menggempur Belanda. Tapi benteng Bonjol
jatuh, dan utusan datang lagi. Di Padang, ia bertemu
dengan Residen Francis.

Resident Francis: Dulu saya minta Tuanku, Tuanku tidak
mau datang bertemu kami….

Tuanku Imam Bonjol: Tempo tuan kirim surat yang dahulu
tuan minta saya. Saya kasih lihat surat itu kepada
raja-raja dan penghulu. Hampir saya dibunuh orang
tempo itu dan dicabik-cabiknyo dek surat itu. Surat
kemudian tidak kasih lihat pada penghulu. Maka itulah
sekarang mencari tuan….

Imam Bonjol akhirnya mau dibawa kapal ke Betawi,
Surabaya, Buton, Ambon, sampai Manado. Di sanalah, di
Lotak Pineleng, ia tinggal sampai wafatnya. Keberadaan
naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kali dilaporkan oleh
Ph.S. van Ronkel dalam artikel Inlandsche
getuigenissen aangaande de Padri-oorlog (Kesaksian
Pribumi mengenai Perang Padri) dalam jurnal De
Indische Gids, 1915.

Ronkel menyebutkan bahwa dia telah menyalin satu
naskah berjudul Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol setebal
318 halaman. Pada 2004, Sjafnir Aboe Nain dari Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau, Padang, menerbitkan
transliterasi naskah Tuanku Imam Bonjol.

Kata pengantar yang ditulis Sjafnir menyebutkan bahwa
salinan Ronkel itu sesungguhnya gabungan antara
catatan Imam Bonjol yang berjumlah 191 halaman dan
catatan anaknya, Naali dan Amin. Naskah itu sendiri,
menurut dia, dikenal dengan nama Tambo Naali Sulthan
Chaniago.

Transliterasi dilakukan Sjafnir ke dalam bahasa
Minang-Melayu, membuat naskah ini agak sulit dipahami
dalam waktu singkat. "Saya butuh waktu lama untuk
memahami naskah ini," kata peneliti sejarah Tapanuli
Selatan, Basyral Hamidy Harahap.

Tak ada bagian dari naskah ini yang menampilkan sikap
Imam Bonjol akan kekerasan yang dilakukan Padri. "Tapi
saya yakin Imam Bonjol mengetahui kekejaman kaum
Padri, baik penculikan maupun pemerkosaan. Tapi ia
diam saja," kata Basyral.

Ia merujuk, ada halaman yang menampilkan masalah
penculikan dan jual-beli perempuan ternyata
dibicarakan secara terbuka dalam suatu pertemuan yang
dihadiri tokoh-tokoh umat, yakni Sultan Chaniago, Nan
Pahit, Datuk Kayo, Datuk Limo Koto, Rajo Minang,
Punjuak Batuah, dan Pado Alim.

"Pailah (pergilah—Red.) ke rumah Malin Kecil, basua
(bertemu) perempuan. Ditanyalah dek (oleh) Datuk Limo
Koto perempuan itu. 'Siapo nan manangkap di lading
Batang Silasung?' kata Datuk Limo Koto. Alah
(kemudian) menjawab perempuan, 'Nan manangkap saya
dicari (si Cari) orang Durian Tinggi. Dijualnya dek si
Cari itu saya kepada Rajo Manang. Dek Rajo Manang
dijual pula ke Bamban.'"

Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Dr Gusti
Asnan, melihat, untuk sebuah catatan harian, Tuanku
Imam Bonjol sangat tidak mungkin menuliskan
fakta-fakta kebrutalan Padri. "Bila dibandingkan
dengan sumber sejarah Belanda, Tuanku Imam Bonjol
tidak memasukkan peristiwa pembakaran, perampokan,
serta penculikan dan pemerkosaan perempuan. Tapi saya
pikir dia tahu mengenai kejadian itu," ungkap Gusti.

Baik Basyral maupun Gusti melihat proses negosiasi
Tuanku yang diwakili anaknya, Sutan Chaniago, dengan
pemimpin Belanda sama sekali tidak menunjukkan
ketegangan. Mengherankan, Imam Bonjol yang dikenal
sebagai sosok penentang Belanda yang gigih kemudian
seperti melemah. Bahkan Gusti melihat keakraban Tuanku
dengan Residen Elout dan Residen Francis aneh.

"Sekarang Tuanku pergi ke negri Menado, karena negri
Menado baik, tempat baik, makanan murah…."

"Sebagai seorang pahlawan nasional, apa iya Tuanku
tidak merasa curiga terhadap niat Belanda?" tanya
Gusti.

Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007
Iqra
Mengenang Sanggahan Hamka
Hamka pernah menjadi sahabat Parlindungan. Namun,
suatu ketika, mereka berselisih tentang Tuanku Rao.
Hamka menuliskan pendapatnya dalam Antara Fakta dan
Khayal Tuanku Rao.

Di tahanan, Buya Hamka banyak membaca dan menulis.
Waktu itu, tahun 1964, Hamka berada di rumah tahanan
kepolisian Mega Mendung. Sebagai salah satu
fungsionaris Partai Masyumi, oleh rezim Soekarno ia
dianggap anti-Nasakom. Kemudian ia dipindahkan ke
Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, karena
sakit—selama 17 bulan, sampai 1966, Hamka menghasilkan
karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar.

Salah seorang muridnya, Sofjan Tanjung, mengirimi
ulama itu buku tebal berjudul Tuanku Rao, dua
eksemplar—kiriman yang diiringi permintaan agar Hamka
memberikan komentar serta kritik atas buku tersebut.

Dan ketika Hamka keluar dari tahanan, ia berkenalan
dengan Parlindungan. Mereka bersahabat. Parlindungan
biasa menjemput Hamka ke rumahnya sebelum salat Jumat.
Parlindungan selalu mengenakan kopiah sampir buatan
Gorontalo, bersarung, dan bertongkat kecil.

Hamka mulanya mengagumi buku Tuanku Rao. Polemik
terjadi saat Hamka mulai meragukan isi Tuanku Rao.
Salah satu peristiwa penting dalam polemik mereka
terjadi dalam seminar di Padang pada Juli 1969. Baik
Hamka maupun Parlindungan hadir sebagai pembicara.
Pada acara tersebut, Hamka mempertanyakan informasi
Parlindungan mengenai Haji Piobang, pendiri Padri yang
disebut Parlindungan pernah menjadi salah satu kolonel
tentara Turki di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Ali
Pasya. "Sampai seminar habis, Parlindungan tidak dapat
memberi jawaban tegas," tulis Hamka.

Hamka meluncurkan kritik-kritik cukup pedas menanggapi
Tuanku Rao. Kritik ini ia tulis dalam beberapa artikel
yang dimuat di harian Haluan, Padang, 1969-1970. Ia
menyebut Parlindungan bodoh. Parlindungan menganggap
Hamka childish dan kampungan.

Sebuah buku khusus pun diluncurkan oleh Hamka bertajuk
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal
364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada 1974 itu, Hamka menuding isi Tuanku Rao
80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan
kebenarannya. Pasalnya, setiap kali Hamka menanyakan
data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab,
"Sudah dibakar."

Selain itu, Hamka mempertanyakan kebenaran berbagai
isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup
sensitif adalah pernyataan bahwa selama 300 tahun
daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah.
Hal ini menurut Hamka dusta belaka.

Hamka juga menolak menanggapi isu tentang adanya
pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh
sebagian pasukan Padri. Cerita tentang bagaimana
anggota Padri melampiaskan nafsu syahwatnya secara
terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka
sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga
menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang
Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang
mencari data ilmiah.

Hamka membandingkan kisah Parlindungan—tentang
pembunuhan keluarga Kerajaan Pagaruyung yang disertai
pemerkosaan para putri kerajaan dalam Tuanku
Rao—dengan data sumber Belanda. Versi Belanda, menurut
Hamka, menuliskan pembunuhan oleh Tuanku Lintau
terhadap keluarga kerajaan pada 1804. "Tapi tidak ada
disebut-sebut seorang Mandailing bernama Idris
Nasution dan pasukannya yang menawan puluhan gadis,
lalu memperkosa di hadapan umum, di udara terbuka,"
tulis Hamka.

"Cerita tentang Tuanku Lelo mengumbar nafsu syahwatnya
itu bumbu cerita porno yang dibuat Parlindungan yang
tidak kalah dengan cerita-cerita film cowboy tahun
1972," demikian Hamka mengejek Parlindungan. Di mata
Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama
asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan
belaka.

Toh, meski tak mengupas secara spesifik soal kekerasan
kaum Padri terhadap masyarakat Mandailing, khususnya
perempuan, Hamka mengutip keterangan Faqih Shagir dari
Hikayat Syaikh Jalaluddin, yang juga banyak berkisah
mengenai kaum Padri:

"…. Adapun yang jahat daripada Padri yaitu membunuh
segala ulama-ulama dan membunuh orang yang cerdik
cendekia, mengambil perempuan yang bersuami,
menikahkan perempuan yang tidak sekufu dengan tidak
ridhanya, bepergundik tawanan dan menghinakan orang
yang mulia-mulia dan mengatakan kafir orang yang
beriman…."


oleh : Sita Planasari Aquadini

kampung Halamanku


Sungguh indah kampung halamanku di kaki gunung yang biru di lingkung sawah yang hijau tempat anak-anak bergurau gurau sungguh indah kampung halamanku di kaki gunung yang biru dimana sungai mengalir airnya jernih berdesir desir sungguh indah kampung halamanku di kaki gunung yang biru dimana aku berada kampung halaman tak aku lupa

Rabu, 24 Oktober 2007

PARADIGMA


Hari demi hari terus berjalan

Pergantian waktupun tidak dapat dielakan

Perubahan adalah sebuah realitas yang harus dihadapi

Sebagai konsekwensi logis atas akhir dari setiap langkah

Paradigma hidup merupakan acuan dalam melangkah

Sebagai barometer dalam menjalani hidup

Menuju sebuah wujud misteri

Cita-cita’


Perenungkan kembali tentang Paradigma hidup

Tentang cita-cita yang tergantung di angkasa

Katakanlah kamu bisa untuk meraihnya

Kamu bisa untuk menjalaninya

Gapailah semuanya


Sungguh beruntunglah orang yang slalu mensucikan diri '


Success for You